Rabu, 14 Agustus 2013

Glamorous Days ::the GazettE Fanfic:: [Chapter 2]

Title: Glamorous Day
Author: Kokoro Orihara
Chapter: 2
Genre: Angst, Romance, Drama, School Life
Cast: Ruki, Reita, Aoi, Uruha (the GazettE), Gackt, Hyde, Tetsu (L'arc~en~Ciel)
Pair: Reita x Ruki (the GazettE), Hyde x Tetsu (L'Arc~en~Ciel), Uruha x Aoi (Soon)
Rating: T


Enjoy~~~

"Kau baik-baik saja Ru?" tanya Reita lagi.

"Y, ya…. Hanya butuh sedikit istirahat." Jawab Ruki sedikit terengah.

"Kau yakin?" belum sempat Ruki menjawab, kesadarannya menurun dan semuanya menjadi gelap….

'BRAK!'

"RUKI!

- Nyan Nyan Nyan Nyan -



Hyde dan Tetsu berlari-lari kecil menyusuri lorong rumah sakit. Beberapa menit yang lalu mereka ditelpon oleh Gackt karena Ruki terpaksa dilarikan ke rumah sakit. Suami-istri itu pun langsung menuju tempat biasanya Ruki di rawat. Yup, memang tidak sekali ini saja Ruki masuk rumah sakit saat sekolah. Jika ia memaksakan diri untuk sekolah, tubuhnya tidak akan kuat dan berujung duduk manis di ruang perawatan dokter pribadi mereka.

'tok tok tok'

Setelah dipersilahkan masuk, keduannya membuka pintu dan masuk ke dalam ruangan serba putih itu. Terlihat Ruki masih menjalani pemeriksaan lebih lanjut oleh dokter pribadi mereka, Aoi. Tetapi kali ini Ruki tidak sendirian. Di kursi penunggu (di dalam ruangan itu juga) seorang pemuda ber-noseband duduk manis memperhatikan Ruki. Dari fisiknya terutama nosebandnya, Hyde tahu kalau dia adalah Reita yang selama ini disebut-sebut Ruki.

"Taka." Panggil Hyde cemas. Ia pun menghampiri Ruki.

"Daijobu, I'm fine." Balas Taka tersenyum lemah. Hyde dan Tetsu menghela nafas lega. Tetsu menyuruh Hyde untuk menemani Ruki sementara ia menghampiri Reita.

"Terima kasih sudah membawanya kesini." Ucap Tetsu mengulurkan tangan.

"Sama-sama. Sebenarnya bukan saya yang membawanya kemari. Saya hanya disuruh menemani Ruki." Balas Reita menjabat tangan Tetsu.

"Saya Tetsu Matsumoto, Ayah Ruki."

"Saya Suzuki Akira." Setelah memperkenalkan diri, Tetsu pun duduk di sebelah Reita.

'PIP!'

Reita tersentak saat jam digital yang melingkar di tangan kirinya berdecit cukup keras. Ia pun memeriksa jam dan menyadari kalau ini sudah waktunya ia pergi.

"Maaf Tetsu-san, saya permisi dulu. Ada yang harus saya kerjakan." Pamit Reita menyalami tangan Tetsu kemudian Hyde.

"Baiklah, terima kasih atas bantuanmu Reita-kun. Hati-hati." Ucap Tetsu dibalas dengan anggukan Reita.

"Sampai besok, Ruki." Pamit Reita menepuk kepala Ruki pelan. Ruki ikut mengangguk sambil sedikit merona.

Ruki masih menjalani serangkaian pemeriksaan sebelum diperbolehkan pulang. Ketika dokter menyuntikkan sesuatu ke dalam tubuhnya waktu sudah menunjukkan pukul tujuh malam.

"Nah, kurasa kau sudah tidak apa-apa." ucap dokter tampan berambut raven itu.

"Arigatou, Aoi-sensei." Balas Ruki tersenyum ramah.

"Ya~ Sama-sama." Aoi balas tersenyum dan berbalik menemui kedua orang tua Ruki.

"Kau mau?" tawar asisten Aoi menunjukkan sebungkus cokelat kit kat.

"Kai-san! Anda menganggetkanku!" pekik Ruki yang memasang sepatu. Pemuda manis itu tertawa garing dan tanpa persetujuan Ruki meletakkan cokelat itu di tangan mungil pemuda itu.

"T, terima kasih. Tapi aku tidak terlalu suka cokelat."

"Sudah, ambil saja Rukkun. Tadi Sensei beli kebanyakan. Untuk Ruki saja. Kalau tidak mau berikan saja pada orang lain." Kai tersenyum miring, menampakkan dimple menawannya.

"Taka, ayo pulang." Ajak Tetsu merapikan jaketnya. Ruki mengangguk dan turun dari kasur pemeriksaan menghampiri Ibunya.

==Ruki's POV==

Ayah menyetir dengan kecepatan normal. Ibu masih sibuk memperhatikan layar handphone-nya. Sedangkan aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Kejadian tadi siang membuat Gackt-sensei dan Reita-kun cukup panik. Begitu kata Kai-san. Sewaktu aku sadar, Gaku-sensei cepat-cepat pamit. Aneh, padahal kukira beliau ingin bertemu orang tuaku.

Akhirnya aku hanya menopang dagu memperhatikan jalanan. Seperti biasa, tidak banyak mobil. Jalanan di dominasi oleh pejalan kaki. Ayah membelok ke wilayah yang lebih sepi. Memang itulah jalan pulang kami. Orangtuaku sengaja memilih tempat yang cukup sepi untuk ditinggali karena mereka sama-sama tidak suka keramaian.

"EH?" bisikku kaget saat melihat seorang pemuda berseragam Lamia Gakuen tengah adu pukul dengan beberapa orang preman.

Aku menegakkan tubuhku dan beruntung kami terhenti lampu merah. Aku mencoba memperjelas penglihatanku. Dan kuakui aku tidak salah lihat.

Ya, saat ini aku melihat Reita tengah bertahan dari orang-orang yang memukulinya. Tapi, kenapa Reita dipukuli seperti itu? Mungkin….. Jawabannya ada pada wanita paruh baya yang terduduk di belakangnya. Mungkin Reita melindungi perempuan itu? entahlah. Tapi masa karena ini dia jadi memiliki luka lecet tiap hari? Tidak lucu jika kisah 'Reita dipukuli' terus berulang.

"KAMI AKAN KEMBALI!" umpat salah satu pria yang ada di sana. Reita kelihatannya tenang dan hanya menatap tajam mereka sementara wanita itu menangis. Mungkin kisah Reita dipukuli masuk akal.

Reita memeluk wanita itu. Oke, aku tidak cemburu. Kurasa ia Ibunya. Lihatlah, mukanya mirip. Andai ia tidak pakai noseband, aku yakin mereka akan terlihat mirip. Mobil kami kembali melaju saat kulihat Reita membawa pergi wanita tadi…

Sesampainya di rumah Ibu langsung mengantarku ke kamar. Aku berkata bahwa aku akan baik-baik saja. Sepeninggalnya, aku masih memikirkan Reita. Apa yang terjadi sampai ia terlibat dengan preman yang kurasa yakuza itu? Semakin kupikirkan semakin bingung.

== Morning==

"Ohayo…" sapa ruki ketika kakinya sudah menginjak di lantai ruang makan.

"Ohayo Taka." Balas Ibunya lembut. Seperti biasa, Taka sudah bersiap dengan seragam dan tasnya.

"Kau tidak apa-apa? tidak usah sekolah saja ya?" tawar Ibunya khawatir. Ruki menggeleng.

"Tidak Ibu, aku ingin sekolah." Tolak Ruki halus.

Tetsu menggeleng pada Hyde tanda 'biarkan saja'. Hyde menghela nafas dan mulai mengambil lauk dan memakan sarapannya.

== School ==

"Ohayo." Sapa Reita sambil menguap.

"Ohayo, Rei." Balas Ruki tak lupa senyum.

"Eh? Sejak kapan kau memanggilku Rei?"

"Sejak dua detik yang lalu."

"…"

'GRAAAAKK!"

"OHAYOOO~~~" sapa Gackt riang gembira (?).

"O, ohayo sensei." Balas keduanya sweatdrop.

"Duduk duduk~ hari ini sensei akan memperkenalkan seorang murid. Dia adalah murid pindahan dari eropa. Sekolah merekomendasikannya untuk ikut pelajaran tambahan." Jelas Gackt memakan kacamata khas miliknya.

"Yaa~ silahkan masuk, Takashima-san."

Dan setelah komando dari Gackt, di hadapan Ruki dan Reita munculah seorang siswi manis berambut pirang. Dengan malu-malu ia berjalan masuk ke kelas dengan menunduk.

"Ah, jangan menunduk Takashima, kashian teman-temanmu, tidak bisa lihat wajahmu." Ucap Gakct.

"G, gomenasai…" gumamnya lirih.

'MANIS!' batin kedua siswa itu.

"Perkenalkan dirimu."

"Etto… Saya Kouyo Takashima. Panggil Saja Uruha. Saya pindahan dari Swiss. M, mohon bantuannya."

"Nah, silahkan duduk di sebelah Ruki dan Reita." Suruh Gackt.

== Break ==

"Nee, Uruha, kau manis sekali." Ucap Ruki asal ceplos.

"Ruki!"

"ups…"

"Ahaha, tidak apa-apa~ Terima kasih Ruki-kun, tapi aku LAKI-LAKI." Ucap Uruha sambil tersenyum hangat plus… Garuk-garuk kepala.

"…"

"NANIIII?" pekik keduanya.

Dan Uruha pun bercerita kenapa ia memakai seragam perempuan. Orang tuanya dulu sangat menginginkan anak perempuan. Tetapi yang keluar adalah laki-laki. Maka dari itu, Ruha pun di dandani seperti perempuan.

"Kau.. Tidak risih?" tanya Ruki penasaran.

"Terkadang aku risih, namun melihat senyum hangat Ibuku rasanya… seperti… rasa risih itu hilang." Jawab Uruha tersenyum manis.

"Kau punya saudara?" kali ini Reita yang bertanya.

"Ya. Dua adik laki-laki. Dan dua-duanya bernasib sama denganku."

"EH?"

"Tapi mereka enjoy tuh…" kikik Uruha.

Lama mereka diam dan larut dalam kegiatan memakan bekal mereka. Ruki memandang keluar, ke arah teman-teman sebayanya yang sibuk dengan kegiata klub. Sesekali Ruki tersenyum antara manis dengan miris. Reita yang melihatnya sedikit merasa kasihan. Uruha yang tahu alasan Ruki dan Reita masuk kelas khusus menghela nafas pelan.

== x ==

Uruha, Ruki, Reita.

Tiga sahabat yang sudah tidak dapat dipisahkan lagi. Sepertinya Ide Gackt untuk memasukkan mereka ke dalam kelas yang sama bukan hal yang buruk. Bersama-sama mereka mengisi liburan dengan kelas tambahan. Tidak terasa, ini adalah hari terakhir mereka dalam kelas tambahan.

"HUAH! Tidak terasa ya, sudah lewat empat minggu." Ucap Reita merenggangkan tubuh.

"Ya!" balas Uruha dan Ruki semangat.

"Apa… Nantinya kita akan bersama-sama seperti ini?..." Tanya Ruki sedih.

"Apa yang kau katakan Ru? Tentu saja!" balas Uruha semangat.

"Aku… Takut… Kalau kalian nanti punya teman-teman baru dan aku akan tertinggal lagi.." ucap Ruki lirih.
*hug*

"R, Rei?" Panggil Ruki panik saaat Reita memeluknya erat.

"Daijobu, kita akan terus bersama. Iya 'kan, Uru?" janji Reita lembut.

"YA! Tenang saja Ruki, kita akan bersama-sama terus, sampai tua." Timpal Uruha ikut memeluk.

"Hehe… Arigato.. Minna…"


== TBC ==


Glamorous Days ::the GazettE Fanfic:: [Chapter 1]

Title: Glamorous Day
Author: Kokoro Orihara
Chapter: - (Oneshot)
Genre: Angst, Romance
Pair: Reita x Ruki (the GazettE), Hyde x Tetsu (L'Arc~en~Ciel)
Rating: T




Enjoy~~~



Seorang pemuda mungil terlihat tengah mengikuti kegiatan rutin sarapan pagi bersama kedua orang tuanya. Pemuda manis itu tampak lahap memakan masakan buatan Ibunya.

"Kau yakin bisa berangkat sekolah sendirian?" tanya Hyde, sang Ibu khawatir.

"Apa kau perlu diantar Ayah?' timpal Tetsu. Ruki menggeleng pelan.

"Tidak perlu. Aku bisa sendiri. Toh sekolah sepi, paling juga hanya anak-anak yang mengikuti ekskul saja yang ada. Ayah dan Ibu tidak perlu khawatir OK?" balas Ruki riang. Hyde hanya tersenyum lembut dan membereskan bekas makan keluarga kecil itu.

"Jya~ Itekimasu!" pamit Ruki sambil melangkah keluar rumah.

"Hati-hati di jalan Taka!" balas kedua orang tuanya.

Taka berjalan menuju sekolahnya sambil bersiul. Sekolah di liburan musim panas? Mungkin hal aneh dan tidak biasa. Tapi, selama dua tahun bersekolah di Lamia Gakuen ia sudah sedikit terbiasa. Terima kasih kepada penyakit jantung lemah bawaanya. Ia tidak bisa bersekolah dengan normal. Berkali-kali ia harus absen karena tidak kuat masuk sekolah. Para guru dan wali kelas pun hanya bisa memakluminya.

Namun atas desakan Gackt-sensei selaku wali kelas, Taka harus mengikuti kelas tambahan selama liburan musim panas atau ia terancam tidak naik kelas 3. Taka bersiul mengikuti alunan lagu yang terdengar dari iPod-nya. Dan tidak beberapa lama kemudian ia sudah sampai di gerbang Lamia Gakuen yang lumayan megah itu.
Ruki melangkahkan kakinya melewati lapangan olahraga. Di sana ia melihat beberapa siswa yang mengikuti ekskul Tennis, Sepak Bola, dan Softball bermain dibawah terik matahari siang. Ruki menarik bibir manisnya membentuk sebuah senyuman yang terlihat sedikit sedih.

'Kapan ya aku bisa bermain seperti itu?' batinnya muram.

Ruki melirik jam tangan dan tersentak kaget saat waktu menunjukkan pukul delapan kurang lima menit. Okay, dia hampir telat. Dan seantero sekolah juga tahu Gackt paling anti anak telat. Dengan sedikit berlari-lari kecil ia melewati loker sepatu. Ia ingin berlari kencang layaknya remaja pada umumnya. Namun keinginan itu ditahannya kuat-kuat. Ia masih menyayangi jantung dan dirinya sendiri.

"S, Sumimasen!" ucap Ruki menggeser pintu kelasnya.

"Eh?"

Ruang kelas tampak sangat lowong. Hanya ada Gackt-sensei dan duduk santai di salah satu bangkunya. Gackt tersenyum –atau menyeringai- kepada Ruki. Guru tampan itu melambaikan tangan tanda ia menyuruh Ruki untuk mengambil tempat. Ruki pun menurut dan duduk tepat di sebelah Gackt-sensei.

"Ohayou, Matsumoto-kun." Sapa Gackt.

"O, ohayo Sensei. Sumimasen, aku telat." Balas Ruki gugup.

"Yah, kau beruntung aku tidak berkicau pagi ini. Sebenarnya tidak hanya kau yang mengikuti tambahan pelajaran lho~" ucap Gackt menata kertas yang ada di depannya. Ruki memiringkan kepalanya bingung.

"Namanya Suzuki Akira. Semua anak memanggilnya Reita. Kau tahu? Cowok yang kemana-mana memakai noseband itu lho." cerita Gackt.

"Ah, maaf sensei, aku tidak ingat." Balas Ruki merasa bersalah.

"Yah, wajar sih. kalian adalah dua siswa-ku yang tidak pernah masuk sekolah. Jadi tidak heran kalau kau tidak tahu soal Reita." Gackt mengangkat bahu dan beranjak.

"Oh…. Lalu dimana dia sekarang?"

"AHA! Pertanyaan yang bagus~~ DIA BELUM DATANG~ DAN AKU SUDAH MENUNGGU MAHLUK NOSBEN TIDAK TAHU DIRI ITU." sindir Gackt. Ruki tertawa garing.

'GREEKK!'

"Curhat?" tanya sebuah suara membalas sindiran Gackt. Ruki menoleh. Dan pandangannya langsung tidak mau lepas dari sosok pemuda pirang yang memakai noseband.

"KUFUFUFU! TELAT!" sergah Gackt kelas.

Reita mengangkat bahu cuek dan ngeloyor masuk. Ia pun refleks mengambil tempat tepat di sebelah Ruki. Yup, tempat dimana tadi awalnya Gackt duduk di sana. Gackt menghela nafas berat dan menatap kedua murid uniknya itu.

"Reita, kenalkan. Namanya Matsumoto Takanori." Ucap Gackt.

"A, a panggil saja Ruki." Balas Ruki malu-malu. Diulurkannya tangan mungil itu. Reita menatap Ruki dan menjabat tangan Ruki, membuat pemuda itu sedikit salah tingkah.

Reita hanya diam dan mengangguk menanggapi sapaan Ruki. Mereka pun mengikuti pelajaran yang disampaikan Gackt dengan tenang. Sesekali ia mencuri pandang pada cowok yang memiliki banyak luka lecet di tubuhnya itu.
Gackt tidak dapat menahan senyuman saat tahu Ruki sesekali mencuri pandang. Ia merasa keputusannya untuk menyatukan kedua murid spesial-nya ini tidak sepenuhnya salah. Reita masih dengan cuek menopang dagu dan memperhatikan Gackt mengajari mereka matematika. Gackt memang seorang wali kelas yang handal. Meski ia adalah guru fisika, ia mampu menyesuaikan perannya dalam mengajari Ruki dan Reita.

KRING~~

"Ah? Sudah jam segini?" tanya Gackt mengalihkan pandangan pada jam dinding.

"Baiklah, kalian boleh istirahat." Ucap Gackt mengakhiri pelajaran.

Sepeninggal Gackt, Reita dan Ruki masih saja saling diam dan tidak menyapa. Ruki dengan canggung membuka bekalnya. Ia tidak sadar kalau Reita memperhatikan gerak-geriknya itu. Sejurus kemudian Reita sedikit terkekeh geli saat Ruki dengan imutnya menjatuhkan sendok. Si mungil nan manis itu pun buru-buru mengambil sendok yang jatuh dan mengelapnya.

"A, Ah maaf, apa ada yang salah?" tanya Ruki menyadari tingkah aneh Reita.

"Um, tidak ada. Kau lucu." Jawab Reita jujur. Pipi chubby Ruki merona dibuatnya.

Pemuda mungil itu cepat-cepat mengalihkan pandangannya dari Reita dan kembali fokus dengan bekalnya.

"Hei, boleh aku bertanya?" ucap Reita. Ruki yang melahap sosis 'gurita'-nya mengangguk. Reita dengan sekuat tenaga menahan tawa saat melihat tingkah menggemaskan Ruki.

"Yah, kenapa Gaku menyuruhmu ikut bimbel ini? Kurasa kau bukan tipe anak pembangkang yang hampir tiap hari bolos." Sambung Reita kembali menopang dagu. Ruki menelan sosis yang dikunyahnya.

"Aku sakit." Jawab Ruki singkat.

"Sampai harus bolos berhari-hari?" Ruki mengangguk.

"Apa Gaku-sensei tidak memberi tahu?" Ruki balik bertanya. Dan gantian Reita menggelen.

"Tubuhku lemah. Aku memiliki penyakit jantung bawaan. Aku dilahirkan premature, mengingat Ibuku laki-laki dan beginilah hasilnya. Aku tidak kuat sekolah." Jelas Ruki.

"WHOA! Ibumu laki-laki?" Ruki mengangguk singkat. Yup, ia sudah terbiasa dengan reaksi orang saat mengetahui bahwa ia dilahirkan oleh pria.

"Ibu hermaphrodite." Ucap Ruki.

"Wow… SUGOI!" Reita tertawa lebar. Ruki tersenyum senang. Selama ini orang akan menganggapnya aneh atau gila saat membeberkan rahasia orang tuanya.

"Lalu kenapa tidak home schooling saja?" usul Reita asal ceplos.

"Ah, sejak SD aku ini 'sekolah' di rumah. Tapi aku bersikeras untuk masuk SMA biasa. Aku ingin bisa menikmati rasanya jadi pelajar normal. Tapi hasilnya, aku malah merepotkan orang tua dan guru…" jawab Ruki menunduk.

'pluk'

Reita menepuk lembut kepala Ruki dan tersenyum. Ruki gelagapan dan memalingkan wajahnya.

"Tindakanmu tidak salah sih. Yang kau butuhkan hanya tekad. Tapi, yang kau lakukan ini namanya nekad. Tapi, aku menghargai keinginanmu." Komentar Reita. Ruki mengembangkan senyuman manisnya, membuat Reita jadi ikut gelagapan.

Sementara Gackt yang sedari tadi mengawasi keduanya hanya tersenyum penuh arti.

'Setidaknya aku bisa membahagiakan putramu Hyde.' Ucap guru tampan itu.
==x==

Dan begitulah setiap harinya. Rutinitas baru Ruki saat ini adalah berangkat sekolah, bertemu Reita dan Gackt, belajar, bercerita banyak pada Hyde dan Tetsu. Awalnya mereka sempat khawatir kalau-kalau Ruki tidak kuat. Namun mendengar cerita Ruki tiap hari membuat rasa khawatir itu mulai menguap.

"Bagaimana sekolahmu hari ini?" Tanya Tetsu untuk kesekian kalinya. Ruki menelan makanannya dan tersenyum riang.

"Menyenangkan! Gackt-sensei masih sering beradu mulut dengan Reita." Jawab Ruki senang. Tetsu tersenyum. Hyde menatap purta tunggalnya dengan pandangan yang tak dapat dimengerti. Seolah ada perasaan sakit, sedih, takut, bercampur dengan lega dan bahagia.

"Ibu?" panggil Ruki khawatir.

"E, eh? Ada apa Ru?" balas Ibunya tersenyum.

"Apa Ibu baik-baik saja? Ibu tadi melamun." Tanya Ruki. Hyde menggeleng.

"Tidak, Ibu baik-baik saja kok~" balas Hyde mencoba sedikt riang. Meski ragu Ruki ikut tersenyum.

"Apa bekalmu tadi cukup?" tanya Hyde mengalihkan pembicaraan.

"Sebenarnya iya." Jawab Ruki meraih daging yang ada di depannya.

"Sebenarnya?"

"Reita bilang makanku tidak cukup. Kalau aku mau kuat sampai sore, katanya aku harus menambah bekalku. Tiba-tiba dia membelikanku susu dan roti." Ujar Ruki sedikit tersenyum mengingat kejadian tadi siang.
Tetsu dan Hyde saling berpandangan. Sorot mata takut terpantul dalam manik cokelat Hyde. Tetsu menepuk pelan bahu istrinya, sementara Ruki menyudahi makan malamnya.

"Ayah, Ibu, aku duluan~ Ada PR yang harus kukerjakan." Pamit Ruki.

Sepeninggal Ruki, Hyde membereskan bekas makan malam mereka. Tetsu pun ikut membantu membawa piring-piring kotor untuk dicuci Hyde. Setelah meletakkan piring, Tetsu meraih pinggang Hyde dan membawa pria mungil itu dalam kehangatan.

"Apa yang kau takutkan Hyde?" tanya Tetsu lembut.

"Tetsu….. Aku takut saat Ruki bercerita tentang anak bernama Reita itu…. Aku takut kalau nantinya dia akan jatuh cinta. dan mengalami hal yang sama dengan kita…" jawab Hyde sedikit gemetar.

"Kenapa harus takut Hyde? Cinta itu tidak memaksa. Sepertinya Reita anak baik. Kau lihat bagaimana Ruki bercerita bukan?" balas Tetsu.

"Tapi…"

"Hyde, biarkan saja mereka. Baru kali ini Ruki bisa sesenang ini masuk sekolah." Potong Tetsu akhirnya.

Hyde mengangguk mengerti. Sesekali ia harus mengerti bagaimana putra tunggalnya menikmati hidup. Dalam hati kecilnya, ia memang takut kalau Ruki akan digunjing seperti dirinya, di kucilkan oleh masyarakat sekitar.

==x==

"Kenapa Rei-kun ikut pelajaran tambahan?" tanya Ruki di sela makan siang mereka.

"Eh? Gaku tidak memberitahumu?" Reita malah balik bertanya. Ruki menggeleng.

"Hhh…. Kau tanya saja dia."

"Apanya yang tanya siapa?" tanya Gackt yang tiba-tiba sudah duduk di dekat Ruki.

"S, SENSEEEEEIII?" pekik keduanya sedikit Shock.

"Ada apa sih?" Gackt makin tidak mengerti.

"Sumpah, kau mirip hantu." Goda Reita.

'JTAK!'

"ITTAI!" Reita memegang ubun-ubunnya yang baru saja dijitak Gackt.

"E, etto, aku ingin tahu kenapa Reita juga harus mengikuti pelajaran ini." Ruki akhirnya membuka mulut.

"…."

"…."

"…."

.

"BWAHAHAH!" Gackt tertawa keras. Bahkan saking kerasnya ia hampir menangis.

"A, apaan sih?" tanya Reita tidak nyaman.

"K, kau? Kau tidak memberitahunya apapun Rei? You're not a gentleman!~" ejek Gackt.

"URUSAI!" Reita membantah sambil malu-malu. Gackt kembali tertawa.

"Anoo…. Aku adalah orang yang tidak mengerti apapun di sini…." Ruki menyahut pelan.

'Pok'

Reita menepuk kepala Ruki (lagi). Meski tertutup noseband, tidak dapat dibantah kalau wajah malu-malu Reita itu menarik. Ruki tersenyum geli saat Reita dengan malu-malu menepuk kepalanya.

"Reita itu tidak pernah masuk sekolah. Ia masuk sekolah paling lama seminggu. Itu pun selang-seling" Ucap Gackt akhirnya. Ruki membulatkan mulutnya.

"Aku tidak bolos dan bermain-main seperti yang kalian kira." Sambung Reita malas.

"Lalu?" Ruki bertanya tidak sabar. Reita menyeringai.

"Cari tahu saja sendiri, Chibi." Jawab Reita jahil.

"A, AKU TIDAK CHIBI!" Ruki memekik kesal. Ia menggembungkan pipinya membuat Gackt dan Reita tidak tahan untuk tidak tertawa dan mencubit pipi menggemaskan Ruki.

Setelah menghabiskan makan siang, Reita dan Ruki kembali masuk ke pelajaran. Diam-diam Ruki masih melirik pemuda yang duduk di sebelahnya itu. ia masih penasaran kenapa Reita harus bolos sekolah.

'DEG!'

"Uhhh…" bisik Ruki pelan.

Ia meremas dadanya yang tiba-tiba terasa nyeri. Nafasnya memburu. Ia meletakkan kepalanya lemas di atas meja. Reita yang melihat keadaan aneh Ruki pun segera menghampiri pemuda mungil itu.

"H, hei kau kenapa?" tanya Reita khawatir. Ruki hanya menggeleng pelan tanda Reita tidak perlu khawatir. Gackt pun juga ikut menghentikan kegiatan menulisnya dan menghampiri Ruki.

"Ada apa?" Tanyanya.

"Tiba-tiba ia seperti ini." jawab Reita. Gackt memeriksa suhu tubuh Ruki dan merasakan tubuh Ruki mendingin.

"Kau baik-baik saja Ru?" tanya Reita lagi.

"Y, ya…. Hanya butuh sedikit istirahat." Jawab Ruki sedikit terengah.

"Kau yakin?" belum sempat Ruki menjawab, kesadarannya menurun dan semuanya menjadi gelap….

'BRAK!'

"RUKI!"

-T o B e C o n t i n u e-


Smile, Tears, Love ::Alice Nine Fanfic:: [Chapter 2 -END-]

Darah mengucur dari luka di bahunya. Nafasnya terengah tanda ia kehabisan tenaga. Rasa sakit yang di deritanya seolah tidak menyrurutkan semangatnya untuk melindungi orang yang ia kasihi. Ia tetap berdiri dan melindungi orang itu. para preman yang ada di sana kabur karena tidak ingin bertanggung jawab. Tubuhnya mulai tumbang sedikit, terduduk di atas tanah dingin.

.

.

.

.

.

.


-Smile, Tears, Love-
Alice Nine © PS Company
Story © DaisyDaisuki



.

.

.

.

.

"S, SHOU!" Pekik Saga. Pemuda itu membopong Shou perlahan.

"D, daijobu, Saga-kun…." Balas Shou ringan.

"Ayo kita ke rumah sakit." Ajak Saga. Shou menggeleng tanda tidak setuju.

"A, aku mau pulang. Lebih baik aku pulang daripada ke rumah sakit…." Bisik Shou.

"Kenapa?" tanyanya. Shou hanya diam dan menatap Saga dengan tatapan memohon.

Saga menghela nafas dan menuruti permintaan Shou. Mereka kembali ke restoran untuk mengambil tas Shou. Saga segera mencegat taksi yang lewat dan membawa Shou pulang ke rumahnya. Dalam perjalanan wajah Saga tampak khawatir dan sedih. Ia cukup terpukul dengan apa yang tadi ia lihat. Sosok Shou yang mati-matian melindungi dirinya. Ia tidak terima, seharusnya ialah yang melindungi Shou, bukan sebaliknya/

'Kenapa…. Aku jadi tidak ingin kehilangan dia?' batin Saga. Shou menatap lekat Saga yang ada di sebelahnya.

'Doushitte, Saga-kun?... Kenapa sampai seperti ini?... Tolong jangan beri aku harapan.' Pikir Shou sedih. Mereka pun diam selama perjalanan ke rumah Shou.

-Shou's House-

Shou mengajak Saga untuk duduk di kamarnya saja. Shou tinggal sendirian jadi tidak masalah untuk membawa teman ke kamarnya. Saga melihat sekeliling kamar Shou. Kamar itu mungil tapi rapi. Terbalik dengan kamarnya yang sudah melebihi kapal pecah *lebe*.

"Saga-kun, apa kau terluka? Ku ambilkan minum dulu ya?" tawar Shou ramah.

'Tok'

Saga menjitak pelan kepala Shou.

"Bodoh, yang harusnya dirawat itu kau!" semprot Saga kesal.

Shou tersenyum malu. Shou berjalan menuju rak tempat ia menyimpan kotak P3K. sementara Shou berusaha mengambilnya, Saga kembali mengedarkan pandangan ke kamar beraroma vanilla itu. Saga dapat mengambil kesimpulan bahwa Shou maniak Final Fantasy. Di tembok banyak sekali terpampang poster LightningCloud, Tifa, SnowSerah dan beberapa tokoh dalam game itu. Bahkan Shou juga punya boneka Lightning Chibi, Noctis, Stella, Cloud, dan Sephirot.

"Shou, kau suka sekali Final Fantasy?" tanya Saga.

"I, iya." Jawab Shou malu-malu.

Shou menyusul Saga yang sudah duduk di atas kasurnya. Ia membuka kotak P3K dan mengambil sebotol obat antispetik, beberapa gulung perban, dan sebuah salep.

"Biar aku yang mengobatimu." Ujar Saga.

"EEH? T, tidak perlu! Aku bisa sendiri kok!" balas Shou.

Tanpa mengindahkan omongan Shou, Saga membuka satu per satu kancing kemeja putih Shou. Shou sempat menolak dan menepis tangan Saga dan berkata ia bisa melakukannya sendiri. Saga hanya menanggapinya dengan helaan nafas namun tetap melanjutkan mengobati Shou.

'tek'

Gerakan Saga terhenti saat melihat gurata-guratan bekas luka di dada, punggung dan sekitar bahu Shou. Bahkan luka perkelahian tapi pun menumpuk dengan bekas luka yang sudah lama. Pemuda itu menatap mata karamel Shou dengan pandangan bertanya-tanya.

"Ah, ini?" tanya Shou sambil menunjuk salah satu guratan kasar.

"Ya. Kau…. Seperti orang yang habis disiksa." Komentar Saga lirih. Shou tersenyum sedih.

"Yah, aku memang 'disiksa'. Oleh Ayahku sendiri." Saga tersentak. Pemuda itu pun memandang Shou seolah menuntut cerita.

"Hhhh…. Ceritanya panjang Saga-kun…" ucap Shou menolak untuk menceritakan.

"Aku tidak akan kemana pun." Balas Saga enteng. Shou menghela nafas sekali lagi.

"Ayahku seorang pemabuk. Sejak Ibuku meninggal beberapa tahun lalu Ayah jadi pengangguran. Aku tidak menyalahkan siapapun soal itu. Aku juga memiliki seorang kakak laki-laki yang akhirnya harus berdandan menjadi perempuan karena Ayahku. Kakakku itu sangat mirip dengan Ibuku. Rambutnya pirang platina dan ikal."

"Dimana dia sekarang?"

"Kakakku? Kalau Kakak sekarang tinggal bersama 'suaminya'. Kau… Tahu sendiri 'kan apa artinya." Jawab Shou tanpa menatap mata Saga yang membersihkan lukanya.

"Setiap hari aku dipukuli oleh Ayah. Entah menggunakan pecahan botol minuman keras atau sapu. Ayah tidak pernah memukul Kakak karena Kakak mirip dengan Ibu. Suatu hari, karena tidak tahan, Kakak mengajakku keluar dari rumah dan memintaku untuk tinggal bersama 'suaminya'. Aku menolak karena aku tidak ingin merepotkan keduanya. Apalagi aku tahu kalau Kakak mengadopsi anak dari panti asuhan." Cecar Shou.

Saga hanya diam mendengarkan cerita Shou. Tangannya tak berhenti merawat luka Shou. Ia merawat 'bukti' bahwa ia telah di selamatkan Shou itu dengan sangat hati-hati, seolah tak ingin menyakiti Shou barang sedikit pun.

"Yak sudah selesai." Ucap Saga. Shou menoleh ke arah bahunya yang sudah dibalut perban putih.

"Arigato, Saga-kun ^^" ucap Shou sambil tersenyum manis.

'Blush'

"E, etto. Iya sama-sama." Balas Saga malu.

"Ah, benar juga. Aku akan mengambil minum untukmu. Tunggulah di sini." Pamit Shou sambil beranjak berdiri.

Saga mengangguk setuju. Sepeninggal Shou, Saga kembali mengeksplorasi seluruh isi kamar Shou. Saga melirik ke sebuah foto yang ada di meja belajar Shou. Sebuah foto berpigura yang lebih mirip foto keluarga. Dalam pantulan mata Saga, terlihat sosok cantik pemuda berambut pirang platina yan diyakini Saga sebagai Kakak Shou. Di sebelahnya ada pria tampan bagai vampir yang menggendong anak kecil berambut pirang menyala. Lalu di antara mereka ada Shou.

Saga beranjak dari foto itu. matanya tertumbuk pada sebuah buku bersampul cokelat. Buku lusuh yang menjerat pandangan mata Saga. Tangan Saga meraih buku lusuh itu. Di halaman pertama ia kembali menemukan sebuah foto. Foto yang diyakini sebagai 'keluarga asli' Shou. Seorang Ayah yang tampan, Ibu yang cantik, dan kedua anak lelaki yang tersenyum bahagia. Saga kemudian membalik halaman selanjutnya.

Ia tersentak pelan saat membaca isi tulisan Shou. Tulisan yang mewakili segala perasaan Shou pada dirinya. Entah sejak kapan Saga menyukai pemuda itu. Yup, dalam hati, meski ia memiliki Ellena, ia tidak bisa melepaskan pandangannya dari Shou. Shou, sosok mungil dan rapuh yang sellau ada di dalam pantulan matanya.

'Tap tap tap'

Derap langkah Shou tidak menghentikan Saga untuk terus membaca isi diary itu. Bahkan ketika Shou sudah sampai di depan pintu, sosok Saga tetap membelakangi pemuda itu. Shou menatap Saga dengan pandangan penuh tanya. Diletakkannya dua gelas berisi teh hangat di atas meja kecil di sebelah tempat tidur.

"Saga-kun?" Panggil Shou lirih.

Saga berbalik dan menatap Shou lembut. Shou memiringkan kepalanya tanda tidak mengerti. Namun, mata karamel-nya terbelalak saat melihat apa yang ada di tangan Saga. Shou dengan cepat merebut buku itu dan memeluknya dengan sangat erat, seolah takut kehilangan buku yang sangat berharga baginya itu.

"DDOUSHITTE YO? Kenapa kau membacanya Saga-kun?" jerit Shou sedikit marah.

Dalam hati Shou bukan marah pada Saga, ia hanya takut. Takut bila Saga mengetahui soal perasaanya. Ia takut kalau Saga tahu, maka Saga akan membencinya seumur hidup. Bagi Shou lebih baik tidak dihiraukan oleh Saga daripada dibenci olehnya. Tubuh mungil Shou bergetar pelan menahan tangis. Kepalanya tertunduk dalam.

'tes'

Tanpa terasa Saga telah membuat air mata Shou turun. Shou dapat mendengar Saga mengeliminas jarak mereka. Shou menutup matanya dengan erat, mencoba mempersiapkan diri dengan apa yang akan terjadi. Saat Shou berpikir semua akan berakhir di sini…

'Grep.'

'DEG!'

"S, Saga…kun?" panggil Shou ragu.

Saga tak menjawab panggilan Shou. Ia malah mengeratkan pelukannya pada Shou. Pemuda itu mengecup puncak kepala Shou dan akhirnya menenggelamkan wajahnya di perbatasan leher dan bahu si brunette, membuatnya semakin tak mengerti.

"Gomen ne, Shou." Ucap Saga lirih. Ditatapnya kedua mata Shou dalam-dalam.

"Untuk apa?..."

Tangan besar dan hangat itu menangkup wajah manis Shou. Saga kembali mengeliminasi jarak diantara mereka. Dan jarak yang tadinya memisahkan mereka hilang seketika saat Saga menempelkan bibirnya ke bibir lembut Shou. Shou mengerang pelan namun menikmati ciuman lembut Saga. Saga menciumi bekas air mata Shou, dan kembali memeluknya dengan erat.

"….." Shou tak mampu berkata lagi. Otaknya terlalu sulit untuk mencerna segala kejadian yang baru saja terjadi.

"Maaf ya Shou, andaikan aku tahu kalau kau selama ini menderita, sudah kuakhiri hubunganku dengan Ellena." Ujar Saga lembut. Shou tersentak kaget.

"A, apa maksud Saga-kun?..." Saga sekali lagi menatap dalam-dalam manik mata Shou.

"Shou, aku… Aku minta maaf sudah membuatmu menderita selama ini."

"A, ah… Itu… Daijobu… Selama Saga-kun tidak membenciku, diabaikan pun tak masalah…." Balas Shou lirih sambil tersenyum lembut.

"Shou, aku…. Mencintaimu. Sejak… Beberapa bulan yang lalu. Aku tahu mungkin aku terlambat. Tapi, maukah kau menerimaku?" tanya Saga serius.
Shou menatap Saga tidak percaya. Ia menutup mulutnya dengan kedua tangannya. Saga meraih tangan Shou yang menutupi mulutnya dan menciumi tangan itu. ia kembali menatap Shou lembut.

"A, aku mau…. Aku mau Saga-kun…"

Saga tersenyum hangat dan memeluk pemuda itu. Ia tidak ingin kehilangan orang yang sangat dicintai dan mencintainya itu.

"Ah, Saga-kun. Besok aku ingin ke makam Ibu. Bolehkan?" tanya Shou.

"Ya. Tentu saja. Bersama denganku?"

"Ya! Aku ingin menunjukkan orang yang kucintai pada beliau."
Saga tersenyum lembut dan mengacak rambut Shou. Ia membawa Shou untuk duduk di atas tempat tidur dan mengulangi ciuman penuh kasih sayang mereka…



-Owari-



Smile, Tears, Love ::Alice Nine Fanfic:: [Chapter 1]

Shou selalu mengejarnya, memperhatikan sosoknya dari kejauhan. Ia adalah pemuda yang memiliki garis wajah tegas, postur tubuh yang tinggi, hidung yang mancung dan mata yang tajam. Namun di balik semua itu ia adalah orang yang ramah, lembut dan periang. Shou senang untuk berada di dekat pemuda itu meski hanya berdampingan.
.

.

.

.

.

-Smile, Tears, Love-
Alice Nine © PS Company
Story © Cierru

.

.

.

.

.

"Oi, Saga!" Panggil Tora, teman sekelas Saga.

"Ayo main!" sambung si kecil Hiroto.

Saga menanggapi ajakan kedua sahabatnya itu dengan anggukan setuju. Ketiganya kelua kelas sambil tertawa lepas. Shou cepat-cepat memebreskan bukunya dan keluar kelas. Ia tidak ingin terlambat bekerja hari itu.

Game Center

Hiroto dan Tora asyik balapan mobil. Dalam game tentunya. Sementara Saga berkeliling game center sambil sesekali memperhatikan keadaan sekitarnya. Saga sangat suka memperhatikan orang dan lingkungannya. Baginya manusia itu adalah objek yang unik dan tak terduga.

"Hm?" mata Saga tertuju pada sosok mungil yang sibuk melayani pelanggan café yang ada di depan game center itu. Ia tahu betul siapa pemuda manis itu.

"Hei, aku lapar. Aku mau ke café di depan itu." pamit Saga.

"Ya ya pergilah nanti kami susul!" ucap Hiroto tak peduli. Saga mengehela nafas dan pergi ke café itu.

Sesampainya di sana, ia mengambil tempat di pojok. Saga memang pada dasarnya tidak suka dengan keramaian. Selama ini ia berusaha menghindari apa yang tidak ia sukai. Saga melambaikan tangannya tanda meminta menu. Namun kebetulan yang datang adalah sosok yang tadi dilihatnya, Shou.

"Irishima- EEEE Saga-kun?" pekik Shou kaget.

"Konnichiwa, Shou-kun." Balas Saga enteng. Shou tersenyum hangat. Pipinya memerah dan degup jantungnya meningkat.

"Silahkan~ Aku mau ke meja lainnya." Pamit Shou. Saga dengan malas membuka menu-nya. Dan lama-kelamaan ia malah tertarik untuk memperhatikan sosok lincah Shou ketimbang memilih makanan.

=Saga_Shou=

Shou diam-diam tersenyum. Hari ini ia sangat senang karena ia akhirnya bisa berbicara dengan Saga, orang yang selama ini dikagumi dan disukainya. Ia melayani tamu-tamu yang ada di sana dengan senyum terbaiknya.

"Nee~~ Shou-kun~~ Ada apa nih?" tanya Nao, teman Shou.

"Iie, Hanya sedang senang ^.^" Jawab Shou sambil tersenyum.

"Eh? Kenapa? Apa karena pujaan hati yang kau ceritakan itu datang?" tebak nao sambil menowel-nowel pipi Shou.

'BLUSH!'

"Uwaa~~ Aku benar rupanya!~ Yang mana? Yang mana?" Goda Nao berlagak mencari-cari Saga.

"N, Nao-kun…. /"

"Piiipoon! Aku tahu yang mana! Yang duduk di pojok itu 'kan?~ Itu tuh yang memakai seragam SMA Seito, yang berhidung mancung, berwajah tampan, dan berambut cokelat! Rights?~~ Rights?~~" kali ini Tohya juga ikut-ikut.

"Uwwwwww! T, Toooohyaaa-kunn! Nao-kunn!" protes Shou malu-malu.

"Ahahahaha!" keduanya tertawa lepas dan puas karena berhasil menggoda Shou.

Shou segera melayani pesanan Saga demi menghindari kedua teman jahilnya itu. Pemuda itu memesan sepotong Opera Cake dan segelas cappuccino.

"Silahkan." Ucap Shou sembari meletakkan pesanan Saga.

"Arigato. Ah, kau ada waktu? Aku ingin mengobrol sebentar." Tanya Saga.

"Sekarang? Baiklah, aku tanyakan pada manager dulu." Balas Shou dan berbalik pergi.

"Leda-saaaann~~" panggil Shou riang.

"Ada apa Shou-chii?" tanya Leda sambil mengelus-elus Waccha, kucing temannya yang sedang berbelanja bahan kue.

"Aku boleh istirahat lima belas menit?" Pinta Shou.

"Hmmmmm….." Leda tampak berpikir.

"Yah, berhubung café tidak terlalu ramai… OK! Lima belas menit!" ucap Leda sambil mengacungkan jempol.

Shou berlari kecil menuju meja Saga. Ia duduk berhadapan dengan pemuda itu. Entah kenapa sekarang ia malah memiliki keberanian untuk bertatap muka dengan Saga. Mereka tertawa lepas. Ia banyak bicara hari itu. Ia berkata kalau ia harus bekerja untuk menghidupi dirinya sendiri.

"Yo, pasangan bahagia!" seru Hiroto usil.

"W, what? Kami hanya teman!" tampik Shou.

"Saga, Ellena bisa ngamuk lho kalau kau selingkuh dengan Shou."

'DEG'

Ucapan Tora barusan menyadarkan Shou dan membuatnya kembali ke daratan.

'Ah…. Benar juga ya…. Saga-kun sudah punya Ellena-san… Apa yang kulakukan sih?...' batin Shou sedih.

"Ah! Aku harus kembali bekerja. Sampai besok, Saga-kun ^^" pamit Shou memaksakan senyum.

"Eh? Apa aku salah bicara?" tanya Tora heran.

-Night-

"Jaa~ Minna! Sampai besok!" Pamit Shou riang.

Pemuda imut itu dengan hati-hati meninggalkan toko. Sengaja memilih jalan memutar yang agak jauh karena takut melewati jalan yang sepi. Ia berjalan di antara kerumunan orang-orang yang sibuk berbelanja. Yup, Shou tengah berada di salah satu pusat perbelanjaan yang cukup populer. Ia dapat melihat banyak orang ya berlalu-lalang di sana. Namun mata Shou menangkap sesosok pemuda yang sangat ia kenal, Saga.

Tetapi ternyata ia tidak sendirian. Saga asyik bercanda mesra dengan seorang remaja perempuan yang sudah pasti adalah Ellena. Mereka terlihat sangat akur dan bahagia. Ellena sangat cantik dengan baju terusan putih, legging dan boots cokelat. Saga juga sangat tampan dengan kemeja hitam, jeans, dan boots hitam. Mereka benat-benar serasi.

'DRAP!'

Shou berlari menjauhi Saga. Ia tidak ingin Saga melihatnya dalam keadaan seperti ini. Tersakiti. Shou dapat merasakan dengan jelas bagaimana hatinya perlahan menjadi sakit dan terluka. Seolah teriris pisau bernama 'cinta'.

-Shou's House-

Shou merebahkan dirinya di kasur empuk. Pemandangan tadi membuat pikirannya kacau balau. Saga tampak sangat bahagia, seolah tidak ada celah baginya untuk masuk di antara mereka. Shou menatap foto almarhum Ibunya, kemudian foto Kakak laki-laki yang mirip Ibunya, Hizaki. Yang terakhir foto kucing Hizaki, Sonia.

Shou tertawa miris. Entah kenapa saat ini yang dapat mengobati rasa sakitnya adalah melihat foto Ibu dan Kakaknya. Shou bangkit dan berjalan menuju meja belajarnya. Ia mengambil sebuah buku cokelat tua yang lusuh. Ia membuka lembar demi lembar dan sampai pada halaman kosong. Diambilnya ballpoint yang terletak tidak jauh dari posisinya. Shou mulai menuliskan keluh kesahnya hari akhirnya ia jatuh tertidur kelelahan.

-Next Day-

Meski hari ini hari Minggu, Shou tetap bekerja. Di hari seperti ini café akan dipenuhi oleh pasangan muda-mudi yang tengah berkencan. Shou sedikit iri dengan mereka yang telah memiliki pasangan. Menjelang sore, café mulai agak sepi.

"Fuh~ Lelah!" ucap Tohya sambil mengibaskan celemeknya.

"Ahaha, ayo istirahat dulu." Ajak Shou sambil memberikan secangkir cokelat hangat ke Leda, Nao, dan Tohya.
Ketiganya tersenyum dan meminum cokelat buatan Shou itu. cokelat itu memiliki rasa yang pas. Tidak terlalu manis dan tidak terlalu pahit. Shou sangat piawai dalam membuat minuman itu.

'KLING'

Bunyi bel tanda pengunjung masuk berbunyi. Shou meletakkan cangkirnya dan segera pergi ke depan untuk bersiap. Namun langkahnya terhenti ketika tahu siapa yang datang.

'Ellena-san?' batin Shou heran.

Ellena tidak bersama Saga. Gadis Inggris itu justru datang bersama seorang lelaki yang tidak kalah tampan dari Saga. Dari gerak-gerik mereka, Shou makin percaya bahwa mereka berpacaran. Tapi tentu aneh. Kemarin baru saja ia melihat Saga dan Ellena bercengkrama, sekarang ia melihat Ellena jalan dengan lelaki lain.

"Ada apa Shou?" tanya Nao heran.

"Etto, gantikan aku untuk melayani tamu itu ya?" pinta Shou sambil menunjuk Ellena yang duduk di bangku tempat dimana Saga kemarin duduk.

"Kenapa?"

"Sudaaah gantikan sajaa aku!" suruh Shou sambil mendorong Nao keluar.

Nao akhirnya menuruti permintaan Shou. Shou tidak ingin terlihat oleh Ellena. Tidak untuk waktu yang sangat tidak tepat ini. dalam hati ia terus berdoa semoga Saga tidak melihat pemandangan ini. Ia tidak ingin melihat Saga terluka. Melihatnya murung saja sudah sakit, apalagi melihatnya bersedih dan kecewa.

'KLING!'

Shou tersentak kaget. Mata Shou membulat sempurna saat tahu siapa yang datang.

'C, CHOTTO MATTE! Saga-kun?' pekik Shou dalam hati.

Saga mendekati meja itu dengan pandangan tidak yakin. Dalam hati ia tidak ingin percaya dengan apa yang dilihatnya. Shou ingin menghentikkan Saga, namun terlambat. Saga sudah memanggil nama gadis itu dengan nada heran.

"Ell?" Panggilnya pelan. Ellena tersentak dan tampak ketakutan.

"Apa yang kau lakukan di sini? Dan…. Siapa dia?" tanya Saga dengan nada kecewa.

Ellena menunduk, tidak berani melihat atau membalas omongan Saga. Perlahan tapi pasti, Ellena menjelaskan semuanya. Saga diam. Setelah Ellena selesai bicara, pemuda itu tanpa basa-basi lagi pergi meninggalkan café itu. ia tak memperdulikan teriakan Ellena yang menghentikannya.
Shou tersentak saat tahu Saga sudah keluar toko dan pergi menuju arah yang tidak seharusnya ia ke sana. Shou segera berlari menyusul Saga. Daerah toko ini, bila malam akan menjadi tempat yang menyeramkan. Dimana-mana terdapat preman. Beruntung bila kau hanya digoda. Mayoritas dari mereka meminta uang atau bahkan melecehkanmu.

"SAGA-KUN!" Teriak Shou saat jarak di antara mereka menipis.

Saga berbalik dan menoleh. Tepat sebelum Shou sampai, beberapa pemuda mirip preman datang mengerumuni Saga. Mereka sok dekat dengan bersandar pada bahu Saga. Mereka meminta uang, namun tentu saja Saga tidak mau begitu saja. Ia mendapatkan selembar uang dengan susah payah. Saga melawan, namun kalah jumlah dengan para preman itu.
'
DUAK!'

Di saat yang tepat, Shou menendak tengkuk salah seorang penyerang. Meski bertubuh kecil, Shou ahli Aikido. Saga cukup kaget saat tahu siapa yang membantunya tadi.

"S, Shou?" Panggil Saga dengan tatapan heran.

"Lari, Saga-kun! Cepatlah! Aku baik-baik saja!" perintah Shou sambil memasang kuda-kudanya.

Tetapi, sebelum Saga sempat menolak atau mendebat perintah Shou, seorang preman yang tadinya tumbang menerjang kearah Saga sambil membawa pecahan botol bir.

"!"

'CRAAASHH!'

.

.

.

.

.

.

TBC